Belajar Parenting Bikin Stress? Mungkin 3 Hal ini Penyebabnya

November 18, 2020


Stressed Mom. Source of freepik.com


Pagi ini membaca obrolan di WA grup emak-emak tentang ibu yang being depresi karena merasa gagal menjadi orang tua yang baik. Padahal menurutnya, beliau selalu rajin mengupdate berita kekinian tentang keorangtua-an, sudah ikut kelas kemana-mana, belajar dengan banyak ahli psikologi dan pakar pendidikan anak, juga melahap macam-macam buku tentang aktivitas anak. Salahnya dimana, belajar parenting kok bikin depresi?

Bukan, bukan belajar parentingnya yang salah. Bukan juga teori-teori dan hasil riset para ahli yang menyebabkan banyak orang tua merasa semakin terbeban dengan amanah pengasuhan. Ada banyak hal yang sebetulnya tidak bisa kita lihat, tapi jelas dirasakan oleh kebanyakan orang tua yang sedang mengalami kondisi yang sama dengan ibu di atas.

Jaman semakin maju, teknologi ibarat bagian primer tak terpisahkan dari aktivitas keluarga, dalam hal ini anak dan orang tua. Dulu, anak laki-laki lumrah sekali jika kulitnya menghitam dan terdapat luka-luka di bagian kaki. Setiap hari kerjanya ngebolang ke sawah bermain lumpur, atau bersepeda keluar masuk gang. Sekarang? Anak dan remaja lelaki tertawan oleh video game dan social media. Ini tidak masalah seandainya pendampingan orang tua berjalan dengan baik. Artinya orang tua berfungsi sebagai filter dan penyeimbang terhadap serbuan insight yang didapat anak dari aktivitas digitalnya. Termasuk, orang tua perlu mengajak anak melakukan aktivitas yang sama sekali tidak melibatkan gawai.

Ah, padahal setiap masa punya ikonnya sendiri. Dulu jangankan internet, komputerpun masih jadi barang langka. Tidak setiap rumah punya. Tapi seiring waktu, kita bisa menyesuaikan diri berdampingan dengan hal-hal tersebut. Artinya, kemampuan belajar kita telah teruji. 

Mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib: "rawatlah anakmu sesuai dengan jamannya". Maka secara harfiah dan maknawi orang tua dituntut untuk sadar diri dan sadar posisi sebagai orang tua masa kini. Tak ada pilihan lain bagi orang tua selain melakukan proses transformasi melalui belajar dan terus belajar.

Saat kita merasa sudah maksimal berusaha belajar menjadi orang tua tapi sering frustasi dengan hasilnya, barangkali tiga hal berikut masih menjadi bagian dari proses belajar.

1. Ekspektasi yang ketinggian.

Kita sering menterjemahkan keberhasilan dengan output. Karena algoritma yang berlaku sejak kecil: siapa berusaha, dia akan berhasil. Padahal faktanya tidak melulu begitu.

Apakah tidak boleh punya target? Ya boleh dong, harus malah. Supaya orang tua bisa mengevaluasi dan merefleksi capaian, sudah sesuai milestone atau belum. Sudah sampai pada tahap apa pencapaian kita.

Semua orang tua pasti ingin anaknya jadi soleh, baik, bageur, anteng, mau berbagi, santun, berprestasi, rajin menabung, hafal pancasila dan UUD 45, eh 😁
Tapi, semua ada waktunya kaaaaaan.

Saat apa yang kita hadapi di rumah ternyata berbanding terbalik dengan apa yang kita pelajari. Mentor parenting bilang A, ternyata di lapangan yang terjadi adalah Z. Saat teori yang kita kuasai menyatakan 123 tapi saat praktik malah jadi 456. Lalu ibu menyalahkan diri sendiri karena gagal membuat anak menjadi kondisi seperti kata mentor dan persis dengan teori. Stres, menyalahkan mentor, akhirnya berhenti belajar. Ada yang begini? Ada, banyak. Atau bahkan diri kita sendiri pernah mengalaminya.

Padahal, persoalan mendidik anak bukan hanya tugas ibu seorang. Ayah utamanya, sebagai kepala keluarga memiliki tanggung jawab yang sama besarnya dalam hal pengasuhan. Diluar itu ada keluarga terdekat: kakak, adik, nenek, kakek, om, tante, bude, pakde. Setelah itu ada tetangga, guru, ustadz/ustadzah, pak RT bu RT serta banyak lagi orang yang sedikit banyak turut terlibat dalam proses raising anak-anak kita.

Tak perlu merasa gagal saat hasil berada diluar perkiraan padahal usaha kita sebagai orang tua sudah klimaks. Yang utama, kita sudah menjalankan peran sebaik-baiknya. Yang perlu disadari orang tua adalah bahwa proses perkembangan itu bertahap, takes more time. Bisa lebih cepat, atau bahkan bisa lebih lama. Tak perlu membandingkan anak-anak kita dengan anak lain di luar sana. Selain akan menimbulkan luka pada jiwa anak, hal itu juga akan memicu ekspektasi berlebih bagi orang tua. Yang jika kita tak bisa mengontrol dengan baik, alih-alih bahagia, proses belajar menjadi orang tua justru akan menjadi beban. Turunkanlah sedikit saja standar kita, dan biarkan anak-anak berproses dengan bahagia.
 

Dokpri oleh Hasiah Zen

2. Khawatir menjadi berbeda

Sebagian besar pola asuh sejatinya adalah warisan. Itulah mengapa, bagaimana cara orang tua mengasuh anak, akan berulang kepada generasi dibawahnya kelak. Dan pola ini akan terus berulang, sampai satu bagian dari generasi berusaha menciptakan pola yang baru.
Apakah salah mewarisi pola asuh dari orang tua dulu? Ya tidak juga. Sah-sah saja. Tidak ada yang salah jika orang tua memilih untuk menerapkan secara utuh pengasuhan yang diturunkan dari generasi sebelumnya. Namun, semua berhak mendapatkan porsi yang pas dan sesuai. Sesuai dengan masanya.

Misalnya, dahulu anak2 biasa mengaji di surau selepas ashar atau magrib. Sekarang? Banyak sekolah yang menjadikan TPQ sebagai bagian dari aktivitas akademik. Sehingga pelan-pelan pola lama seperti mengaji di mushola menjadi bergeser. Bukan menjadi kegiatan inti dalam daily dose anak, barangkali sekedar alternatif dalam mengisi kegiatan.

Salahkah orang tua yang mempercayakan pendidikan baca tulis Al-quran anak-anak kepada sekolah? Atau barangkali orang tua yang memilih untuk mengajar sendiri anak-anaknya di rumah? Ya, tentu tidak.

Mengaji di sekolah, atau di mushola dekat rumah, bahkan mengajar sendiri anak-anak di rumah, semuanya baik, semuanya benar. Orang tua tak perlu merasa khawatir berbeda dengan orang tua kebanyakan saat pola asuh yang kita terapkan sedikit unik. Semua orang tua tentu punya alasan logis dan mendasar. Semua orang tua menghendaki kebaikan untuk anak-anaknya. So, selama itu baik dan sesuai dengan value keluarga, jalankan saja. Jangan takut menjadi berbeda.

Dokpri oleh Hasiah Zen


3. Support System tidak siap.

Belajar parenting sejatinya adalah untuk mendidik diri kita sendiri, agar menjadi orang tua yang mampu menjalankan peran dengan baik. Maka, kita membutuhkan support system yang akan mendukung proses belajar tersebut. Bagian terpenting dari support system itu adalah R-1, yakni keluarga inti.

Fenomena yang biasa terjadi adalah suami-suami yang seolah tak mau terlibat dalam proses pengasuhan. Entah apakah memang tidak mau ambil pusing, barangkali karena beban pekerjaan, atau hanya persepsi sebelah pihak. Banyak pakar komunikasi pernikahan mengibaratkan suami adalah gong. Jika tidak ditabuh, maka ga akan bunyi. Apa yang saya dapat dari analogi ini? Ya, memang kepada makhluk bernama lelaki kita tak bisa berbicara dengan bahasa telepati.

Sama dengan belajar parenting. Yang belajar ibunya, yang baca buku ibunya, yang ikut seminar ibunya, maka tugas ibu juga untuk menyampaikan pencapaian ibu kepada suami. Diskusikan bersama, apakah kita bisa menerapkan poin yang sudah kita pelajari tersebut ke dalam keluarga? Jika tidak, bagaimana sebaiknya. Jika ya, harus mulai dari mana. Peran apa yang harus diambil ayah dalam hal ini, peran apa yang bisa dilakukan oleh ibu. Tentu, tidak semua komponen dalam keluarga mau proaktif. Terlebih lagi, yang namanya belajar pasti akan membawa frekuensi yang dinamis dalam keluarga. Legowo saja jika terjadi gesekan-gesekan kecil. Sehingga saat frekuensi suami-istri sudah sama, proses belajar akan menjadi menyenangkan.




"It takes a village to raise a child."
Kita butuh bantuan orang sekampung untuk mendidik seorang anak.



Belajar parenting implementasinya ga harus plek sesuai arahan mentor. Kita dan keluarga, punya value masing-masing yang mungkin saja berbeda dengan value guru-guru kita. Ambil yang cocok dengan value keluarga, terapkan sesuai dengan kapasitas orang tua. Jika masih dirasa kurang pas, cari pembanding dari guru parenting yang lain. Sepakati bersama pasangan apa yang harus kita perbaiki dan kita bangun dalam pola pengasuhan di rumah, bagaimana cara memperbaikinya, siapa saja yang akan terlibat. Juga soal pemetaan, berlapang dada saat keadaan mengharuskan berbagi peran.

Seringkali saya mendapat komentar dari teman-teman, "wah kamu mah enak suami kamu mau bantu-bantu pekerjan rumah tangga", atau "suami kamu soalnya ga hobi keluyuran kaya suamiku".

Percayalah pak, bu, kita semua bahkan pakar-pakar itu, pernah mengalami masa-masa dimana suami atau istri sulit sekali untuk diajak "melek" bersama. Hanya situasinya saja yang berbeda. Bukankah tidak adil menilai orang lain dari hasil yang nampak saat ini tanpa tahu cerita dibalik layar? Jadi, alangkah baiknya kita bersyukur dengan apa yang kita miliki saat ini sambil terus memperbaiki diri.


Mari menjadi dewasa. Termasuk dalam proses belajar menjadi orang tua.

Learning is not for learning, learning is for being.





Salam hangat sepenuh hati,
Hasiah Zen







You Might Also Like

8 Comments

  1. Setuju aku, untuk mendidik dan mengasuh anak, tidak bisa sendirian. Perlu support system dan dukungan dari seluruh keluarga, tetangga kalau perlu. Disiplin tapi penuh kehangatan harus dicoba diterapkan...

    ReplyDelete
  2. Benar sekali mbak, semua itu butuh proses. Tidak ada yang tiba2 trus jadi baik dalam segala hal. Kalau kita mau bersabar menghadapi prosesnya, insya Allah hasilnya juga tidak akan mengecewakan. Suami istri harus saling mendukung.

    Bagi saya inti dari pengasuhan adalah, kita menerima anak apa adanya, tetapi tetap memberikan motivasi untuk sebuah kelebihan yang mereka miliki, insya Allah dia akan berkembang dengan maksimal.

    ReplyDelete
  3. Mendidik setiap anak itu memiliki seni tersendiri sebab satu anak dengan anak lainnya memiliki perbedaan benar adanya kita membutuhkan banyak support dalam mendidik anak, semua pihak dan lingkungan juga turut terlibat

    ReplyDelete
  4. Kadang kita tuh hidup di bawah bayang-bayang lingkungan sekitar ya Bun. Makanya kalau terlihat berbeda dikit aja langsung feeling insecure termasuk soal pola asuh anak-anak, di masa pandemi ini. Jujur deh aku juga kadang ngerasa capek dan mentok aja gitu udah mah dirumah terus, ngadepin bocah, harus ngajarin, harus nyelesaiin kerjaan rumah juga endebrai endebrai. Wajar kalau otak kusut hehe. Tapi ya mo gimana lagi, jadi ortu emang nggak mudah tapi harus dijalankan. Semangaaaat!

    ReplyDelete
  5. Setujuu, mendidik anak itu membutuhkan proses panjang. Selain itu, setiap anak msmiliki karakter berbeda jadi pengasuhannya pun berbeda ya. Yang penting mau sabar dan jangan terlalu ingin jadi orang tua yang paling sempurna.

    ReplyDelete
  6. Aku sempat mengalami seperti ini. Karena banjir informasi parenting, akhirnya malah kayak tertekan. Aku pribadi gak menyalahkan teori dari para pakar, namun sekarang aku memilih untuk menerapkan hal baik yang pernah kualami di masa kecil, sekaligus utak-atik yang sesuai dengan jaman anak. Memang belum terbukti lebih baik, tapi biarlah, biar berjalan alamiah saja. Wong jadi orangtua juga masih belajar. Sampai kapanpun ya sama-sama belajar. Hehe.

    ReplyDelete
  7. Bener banget, Mbak. Mendidik anak memang ga instan. Dibutuhkan komitmen dan kerjasama yang solid antara orangtua dan lingkungan tempat anak bertumbuh.

    ReplyDelete
  8. Setuju sekali mbak sama tulisannya, bahwa ilmu parenting itu bisa berbeda untuk setiap keluarga, ambil yang sekiranya pas dengan keluarga kita. Bisa juga dimodifikasi sesuai standar family kita. Makasih pencerahannya mbak

    ReplyDelete

Social Media

Member of

Pasukan Blogger @JoeraganArtikel

KEB ( Komunitas Emak Blogger)

Mom Influencer Indonesia

IIDN (Ibu Ibu Doyan Nulis)

Popular Posts